CERITA DEWASA KEENAKAN MEMPERKOSA PENARI JALANAN TUBUH SEXY

CERITA DEWASA KEENAKAN MEMPERKOSA PENARI JALANAN TUBUH SEXY


CERITA DEWASA KEENAKAN MEMPERKOSA PENARI JALANAN TUBUH SEXY,  Hasrat-Bispak11 Seluruhnya orang didalamnya harus berusaha serta berkorban supaya tidak tersisih, dan tidak seluruhnya jalan yang dapat dilintasi itu terang-benderang…Izinkan saya bercerita peristiwa hidup saya. Nama saya Darmini, namun orang tidak banyak yang kenal nama asli saya. Bapak serta Simbok panggil saya Denok, itu panggilan biasa untuk anak wanita di daerah saya, tetapi maknanya gak hanya itu. Denok pula memiliki arti montok alias sintal, serta ternyata makna itu yang lebih dikenang banyak orang-orang di kehidupan saya di Ibu-kota. Zaman kecil saya dihabiskan di daerah, jauh dari Ibu-kota. Saya anak satu-satunya Bapak dan Simbok, satu keluarga petani penggarap yang tidak berpunya. Semenjak kecil saya diajari menari oleh Simbok, karena beliau sendiri waktu muda yakni seorang penari, dan seringkali ditanggap bila ada acara di daerah. Sayang, kehidupan kami yang damai di daerah berhenti saat satu hari saya serta Simbok temukan Bapak menggantung diri. Rupanya Bapak mempunyai banyak hutang karena sebab edan judi, dan beliau tak bisa membayar hutangnya itu. Kami terang berduka sebab Bapak sudah tak ada, tetapi juga kebingungan karena sekian hari selesai Bapak disemayamkan, kami ditendang dari rumah karena rumah kami diambil alih agen judi yang memberinya hutang pada Bapak. Kami tidak mempunyai lokasi tujuan, serta uang simpanan kami gak berapa. Simbok selanjutnya ngotot ajak saya berpindah ke Ibu-kota cari penghidupan.


"Denok, kita tidak dapat apapun kembali di sini, di kota kita dapat mencoba mencari uang, semoga di situ mendingan dibanding di sini," kata Simbok.


Saya cuman alumnus SMP, Simbok alumnus SD. Kami sama tidak sadar hidup di Ibu-kota demikian beratnya. Melamar pekerjaan ke sana-kemari, tidak diterima lantaran dipandang pengajaran kurang tinggi. Mencari kerja yang tidak perlu ijazah, lawan begitu banyak. Pada akhirnya seusai cukuplah lama melihat bermacam peluang yang ada, Simbok memastikan untuk memakai keterampilan kami. Hanya modal kemeja dan perabotan yang kami membawa dari daerah, dan radio tape sisa dan kaset-kaset musik tradisionil yang kami membeli dari pasar loak dengan tersisa uang, mulai kami berdua jadi penari jalanan.


Waktu gadis-gadis seumur saya yang di kota lagi persiapan ujian akhir SMA atau meniti tahun mula kuliah, dan yang di dusun menanti dijodohkan oleh orangtuanya, saya memulai jalani kehidupan baru, menjual ketrampilan seni tari bersama Simbok. Awalannya kami berkeliling-keliling Ibu-kota, cuman cari keramaian di mana kami dapat mendapat sekian lembar rupiah buat bertahan hidup. Kami biasa mulai pagi-pagi, mempelajari jalanan Ibu-kota buat cari beberapa orang yang ingin kami hibur dengan tarian kami. Nyatanya gak ringan pun cari uang secara sebagai berikut, paling-paling yang kami peroleh cukup hanya untuk makan kami berdua, satu atau 2x di hari itu. Serta tidak di seluruhnya tempat kami dapat memperoleh pirsawan yang mau bayar, terkadang kami malahan ditendang atau dihardik. Seusai cukuplah lama, kami berjumpa tempat di mana kami dapat terus bisa pemirsa serta uang: satu pasar induk yang lumayan besar, serta lingkungan disekelilingnya. Kami lantas sewa satu kamar sewaan murah di dekat Pasar. Banyak orang-orang di Pasar, yang dari kelompok menengah ke bawah, haus selingan murah yang dapat buat mereka ingat daerah masing-masing. Datangnya kami di situ terus disongsong senyuman, tawa, serta helai-lembar uang yang kumal hasil perasan keringat mereka. Meskipun seringkali helai-lembar itu diserahkan kepada kami oleh kurang santun umpamanya dengan diselinapkan ke kemeja kami. Apa saya serta Simbok memanglah merayu? Entahlah ya. Saya sendiri tak berasa elok. Menjadi anak petani yang kerap main di luar sejak mulai kecil, kulit saya jadi rada gelap terbakar matahari. Tetapi Simbok  dari dahulu selalu mengajarkan dan memperingatkan saya untuk menjaga badan kendati secara simple, jadi biarpun sawo masak, kulit saya masih tetap mulus serta tidak jerawatan ditambah lagi bopeng-bopeng lho. WAJIB 4D


Oh iya, barusan kan saya udah narasi makna nama panggilan saya, Denok. Ditimbang-timbang betul pun sich kalaupun disebut saya montok. Tak tahu mengapa, meskipun rasanya dari kecil makanan saya bergizi ngepas, kok tetap juga tubuh saya jadi bisa ya. Sebelumnya remaja saja tetek saya telah tumbuh, serta saat ini jadi subur gumebyur hingga saya terus takut dengan kemben saya tiap-tiap kali menari. Pantat saya pula kuat karena sebab dibikin latihan olah badan dalam tarian. Ada yang katakan bahenol, saya sich matur nuwun saja kalaupun ada yang menganggapnya demikian. Bertanya-tanyanya, biarpun atas bawah besar, tengahnya tak turut besar, perut dan pinggang saya masih singset. Saya kira masih singset masalahnya sepertinya kelak tubuh saya akan menjadi seperti tubuh Simbok, tengahnya mulai ikut-ikutan lebar. Nach, bila Simbok itu benar-benar elok. Hingga sampai usia begitu lantas beliau terus elok. cerpensex.com Apa lagi apabila sudah gunakan sanggul dan dandan, wuihh. Semuanya orang nengok dan tidak saksikan apapun kembali. Saya sendiri selalu terasa tidak baik lho kalaupun tampil bersama Simbok. Ah, namun sedunia sekedar saya sendiri yang nganggap muka saya buruk. Selainnya Simbok, beberapa orang yang umum menonton kami menari kok semua ngomong saya elok. Saya berpikir, ini sih pinter-pinternya Simbok menghias saya saja. Waktu pertama kalinya didandani buat ngamen, saya protes, kok sibuk benar-benar. Rambut perlu disasak, disanggul, disunggar, gunakan tusuk dan kembang. Muka harus dibedaki tebal-tebal, hingga berbeda warna dengan tubuh. Kemungkinan tinggal tahi lalat di pipi saya saja yang gak ketutupan. Alis saya yang udah tebal dibuat makin tebal. Bibir  diberikan gincu warna merah oke. Saya saat itu ngeluh,


"Kok udah seperti penganten saja, Mbok."


Simbok menjawab, "Yang bernama penari itu tidak bisa biasa saja, nduk. Harus kinclong, manglingi. Kita harus buat suka yang tonton."


Lama-kelamaan saya biasa pun memanfaatkan dandanan semacam itu, malahan saya buat jadi guyonan sama Simbok.


"Mbok, saya wis tiap hari kejadian penganten, bentar bila nikah betulan harus kayak apakah diriasnya?" Dandan muka yang tebal jadi sisi seragam kerja saya, sesuai sama kemben, kain batik, dan selendang. 


Namun benar-benar yang bernama nasib itu jalannya tidak ada yang ketahui. 2 bulan kami tinggal di dekat Pasar, tragedi ada kembali. Waktu sedang nyebrang jalan, Simbok ketabrak mobil. Cedera kronis. Saya cemas, beberapa orang disekitaran beramai-ramai ngangkut Simbok ke rumah sakit. Tetapi Simbok gak terselamatkan. Simbok mati di rumah sakit seusai 2 hari dua malam usaha ditolong dokter di situ. Sesungguhnya sejak mulai ketabrak  Simbok telah tidak ada impian, tetapi tidak tahu mengapa beliau lama sekali kematiannya. Sekaratnya sampai sepanjang hari. Hingga sampai tidak sampai hati saya memandangnya. Saat itu ada yang bisik-bisik, barangkali Simbok pasang susuk, maka dari itu kematiannya sulit. Orang kok sampai hati ya bicara begitu. Tetapi apa itu betul atau tidak, saya tidak ingin tahu, biarkan itu dapat menjadi rahasia Simbok. Saya selanjutnya sendirian di Ibu-kota, seperginya Simbok. Ditambahkan lagi, uang habis buat mbayar rumah sakit serta penguburan, jadi harus berutang kemanapun. Saya tidak bisa melaksanakan acara beberapa macam buat Simbok, cuma dapat doakan sendiri mudah-mudahan roh Simbok dapat tenang di alam sana serta berjumpa kembali dengan Bapak. Satu minggu lebih saya di sewa saja karena terlampau berduka. Barangkali setiap hari saya menangis, bersedih ingat Simbok, pun kesepian. Pada akhirnya saya memaksakan diri untuk keluar kembali, ngamen kembali, sebab uang telah habis serta saya pula harus temui banyak tukang tagih hutang yang tak ingin tahu kepelikan saya . Sehingga, satu minggu sehabis Simbok dikebumikan, saya kembali persiapan untuk keluar, menari. Didepan cermin saya tata rambut saya sendiri, saya pasang sanggul dan kembang, saya bedaki muka saya agar gak nampak beberapa bekas menangis, saya gunakan kembali kemben serta kain, saya sampirkan selendang di leher. Ealah, cocok keluar kamar saya jadi bertemu dengan ibu yang mempunyai sewa. Sang ibu gak pakai basa-basi langsung tagih tunggakan dua bulan. Saya gak mempunyai uang, jadi saya hanya dapat katakan maaf, dan sang ibu malahan ngancam secara lembut. Tidak apapun gak bayar, tukasnya, tetapi esok kamu keluar tempat saya. Haduh biyung, kok gak habis-habis ya hambatan untuk saya. Saya ingin upaya dahulu, kata saya, kelak bakal saya bayar. Hari itu saya pergi ngamen, usaha mencari uang buat hidup.


CERITA DEWASA KEENAKAN MEMPERKOSA PENARI JALANAN TUBUH SEXY


Naasnya, hari itu pasar cukup sepi, serta setelah dua jam saya anyar bisa Rp5000 setelah menari di pangkalan ojek. Saya gak dapat fokus, kepala dipenuhi dengan ingatan, bagaimana triknya biar kelak jika pulang sudah mempunyai cukup uang buat bayar sewaan. Belum beberapa utang yang lain. Mendekati siang, saya sedang jalan di barisan toko toko besar dari sisi Pasar. Dan di muka toko beras terbesar di Pasar, saya lihat Juragan lagi hitung segepok uang. Beliau baru-baru ini terima banyak uang, ternyata ada orang yang habis mborong. Saya masa itu hanya mengenal beliau selaku ‘Juragan'. Beliau pemilik toko beras yang besar itu. Beliau udah tua, lebih tua dibanding Simbok, kemungkinan umurnya udah 50 atau 60 tahun. Kepalanya nyaris botak, rambutnya tipis beruban, kumis serta jenggotnya jarang. Tubuhnya besar dan perutnya gemuk. Sekali 2x saya dan Simbok pernah menari di muka tokonya, serta pegawai-pegawainya berikan kami uang tetapi beliau tak. Namun beliau pernah pinjamkan uang ke Simbok, serta Simbok sempat mengembalikannya. Saya beranikan diri mendatangi Juragan. Ia sendirian di muka toko, sementara anak buahnya repot di dan berada di belakang. Tokonya tengah sepi, tidak ada konsumen.


"Juragan," pinta saya. "Anu… saya…"


Juragan menyaksikan saya dengan acuh. "Ada apakah, Denok?"


"…saya… saya…" Duh, saya tidak kuat bilangnya. Namun saya mesti katakan. "…saya bisa pinjam uang, Juragan? Uang saya udah habis untuk cost penguburan Simbok… saat ini saya harus bayar sewaan dua bulan…"


"Hah?" Juragan lihat saya dengan aneh, "Kamu butuh uang?"


"Tolong, Juragan," saya mengharap kembali, "Saya telah ditagih, ini hari harus ada, atau saya ditendang. Saya janji akan balikkan secepat-cepatnya."


Eh, kok Juragan langsung menyimpan segepok uang tadi ia hitung-hitung.


"Denok," kata beliau dengan dingin, "Saya ini pedagang, bukan tukang memberi hutang. Kamu butuh uang? Kerja sana. Atau kamu berjualan saja."


"Saya saat ini pun kembali kerja, Juragan," saya dongkol tetapi tak berani menunjukkan; kelihatannya Juragan tidak pingin pinjamkan uang. "Cuman ngerinya saya tidak dapat dapat uang ini hari untuk membayar sewaan. Bila berjualan, saya nggak miliki apapun, perlu jual apa?"


Tetapi selanjutnya tatapan Juragan kok beralih jadi aneh… Beliau dekati saya dan merengkuh saya. Tangannya yang besar itu menggenggam pundak saya.


"Siapa yang omong kamu gak miliki apapun?" bisiknya. "Tubuh kamu bagus, Denok. Saya pengen kok mbayar buat itu." Beliau tarik badan saya merapat ke tubuhnya, hingga sampai pipi saya melekat dari sisi dadanya yang gendut. WAJIB 4D


"Ihh?!" saya terkejut dengar bisikan Juragan itu. Duh, inikah yang bernama bisikan iblis? "Tubuh… saya?" Bisikan Juragan selalu terngiang di kepala saya. Bergidik bulu-bulu kuduk saya memikirkan apa tujuannya itu.


"Bila kamu pengin, Denok, saya lunasi bill kontrakanmu yang 2 bulan itu sekaligus mbayar untuk bulan depannya," bisik Juragan kembali.


Duh, biyung, saya perlu bagaimana? Saya penting uang, tetapi apa harus melalui langkah seperti berikut? Tetapi bila tidak, bagaimana kembali? Yang ada saya dapat ditendang, nggelandang, dan…ujung-ujungnya sama pula. Saya gak punyai alternatif lain…


"…mau, Juragan…" saya berbisik, lirih sekali hingga gak terdengaran. Bila saja gak ketutupan bedak, barangkali udah terlihat muka saya berganti merah seperti cabai.


Juragan tertawa, tubuhnya yang gemuk itu hingga sampai tergoyang-guncang. "Bagus, Denok. Marilah turut saya. Kamu ikutin saja kataku, kelak kubayar kamu, ya?"


Lantai atas toko beras itu rumah Juragan. Juragan bawa saya naik tangga dari sisi toko, masuk ke tempat tinggalnya. Juragan nyatanya tinggal sendirian. Saya ingin tahu, apa Juragan gak mempunyai istri? Kami masuk rumah Juragan. Saya selalu melihati lantai, tidak berani membawa kepala, namun sesekali saya ngintip ke sana-kemari lihat situasi.


Juragan ternyata tinggal sendirian di atas tokonya. Ada photo tua yang membuktikan Juragan dengan orang wanita—istrinya kah? Juragan menggamit tangan saya masuk ke satu kamar. Ruangan tidurnya. Ia suruh saya duduk di dipan. Saya duduk, sekalian tundukkan kepala. Juragan berdiri di muka saya, mencermati sekujur badan saya. Ia sentuh dagu saya, sekalian omong,


"Denok, angkat kepalamu, saksikan saya." Saya nurut. Barangkali ia tonton mata saya ketakutan 1/2 mati.


"Membuka kembenmu," tukasnya.


Ia letakkan selembar uang Rp50.000 dari sisi saya. Saya melihat, memandang uang itu. Besar sekali untuk saya. Kebanyakan sepanjang hari menari saya tidak sempat mendapat uang sekitar itu. Namun saya masih tetap kuatir. Juragan mendadak ingin ambil kembali uang itu.


"Bila tak ingin ya udah," ucapnya dengan suara kurang puas.


Tetapi saya tahan uang itu dengan tangan saya, lalu saya ngangguk. Haduh, Simbok, Bapak, maafkan saya. Saya terlepas ikatan kemben di punggung saya, lalu perlahan-lahan saya urai belitan kain kemben merah yang membebat tubuh saya. Serasi tinggal selembar belitan yang tutup tetek saya, saya jadi malu, dan saya tahan selembar itu dengan lengan saya. Juragan tersenyum memandang saya.


"Wahh…susu kamu besar, ya? Buat orang hasrat ajah…" saya saksikan Juragan nyengir lebar seusai bicara itu. sumpah, anyar kesempatan ini ada laki laki berterus-terang ngaku sesuai itu.


Helai uang lima puluh ribu tadi ditempatkan Juragan di samping saya ia mengambil, lipat, lalu ia berikan ke… aduh! Ia imbuhkan ke belahan dada saya!


"Itu untuk kamu, Denok," ujarnya. Duh, gak yakin rasanya. Awal mulanya saya serta Simbok perlu menari sepanjang hari, hingga pegal-pegal, buat dapat duit kurang dari 5 puluh ribu. Tapi… saat ini saya memperoleh duit sejumlah itu … kok mudah sekali?


"Betulan buat saya…?" Masih tak yakin, saya bertanya kembali.


"Iya… asal kamu membuka semua," kata Juragan sekalian menyeringai. "Tubuh kamu bagus, Denok. Montok… bahenol…"


Duh, apa artinya itu? Apa Juragan senang dengan badan saya? Seumur-umur belum sempat ada orang yang omong itu ke saya… Jantung saya deg-degan mendengarkannya. Juragan menarik kain kemben masih ditahan tangan saya, serta kainnya melaju demikian saja tanpa ada saya tahan. Saya masih tutupi gunung kembar saya dengan ke-2  tangan. Aduh… malu sekali rasanya, telanjang di muka orang lain…Tapi saya dapat peroleh uang…


"Nach, Denok, saat ini membuka kainnya, ya?" saat ini Juragan meminta saya membuka pula kain batik coklat yang saya gunakan.


Kemungkinan sebab barusan saya malu serta lamban satu kali membuka kemben, Juragan dekati saya dan menguak kain batik saya. Saya tiba-tiba mundur, tetapi tangan Juragan terus menggenggam bahu saya.


"Tak boleh takut, Denok…" tukasnya.


Juragan pun menggenggam paha saya masih sejumlah tertutup kain batik. Ia remas sedikit paha saya. Nada "Eihh" keluar mulut saya, malu karena sentuhan Juragan. Tangannya selanjutnya nyelip ke bawah kain saya! Kulit tangan Juragan bersenggolan dengan kulit paha saya, dan saya semakin deg-degan. Ia lagi remas-remas paha saya. Saya nggigit bibir, takut keluar nada jenis-jenis dari mulut saya. Tangan satunya selalu nyibak kain saya, sampai ke dekat pinggang… Duh, biyung, tengah diapakan saya ini? Kain saya tinggal nyangkut di pinggang saja, sementara ke-2  kaki, betis, dengkul, hingga sampai paha saya telah dikeluarkan dari kemasnya, sedikit kembali kancut saya tampak!


"Rebah saja, Denok!" suruh Juragan.


Saya nuruti perintahnya, perlahan-lahan saya rebahkan tubuh atas saya. Ke-2  tangan saya terus nutupi sepasang tetek saya. Sanggul yang belum saya lepas (apa selayaknya saya lepas pun?) ngganjal belakang kepala saya. Serta sembari saya rebah itu, tangan Juragan berlaga sangkutan paling akhir kain saya di pinggang. Aduhhh biyung. Ke-2  tangan saya untuk pekerjaan: satu membentang di muka dada, satu turun ke bawah nutupi kancut saya.


Saya sangsi, namun tidak tahu mengapa, saya pula kok rasa hasrat saya bangun? Aduh? Kok ini jadi? Juragan terus terusan memandang sekujur badan saya, sekalian memberi pujian.


"Mari donk, gak perlu tertutupin," kata Juragan. "Tanganmu disingkirin donk? Denok, bila kamu pengen kupegang, kutambah dua puluh ribu, ya…


Ke-2  tangan saya digenggam Juragan, lalu perlahan-lahan dimasukkan dari sisi tubuh saya. Duh, bubar dech pertahanan saya. Saat ini susu saya tidak ada yang tutupi. Saat ini kancut saya nampak.


"Euh… Juragan… pengen pegang?" kata saya kebingungan. "Ja… jadi saat ini tujuh puluh ribu?"




BERSAMBUNG....

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama